Senin, 06 April 2009

My Best Friends are My best Life

It's not about you
it's not about me
it's not about us

it's about our memory
we share our experience


Senin, 30 Maret 2009

"Dek, nitip surat ijin sakit ya......!?"

Panas sekali udara siang ini. Menunggu, adalah pekerjaan yang paling menyebalkan menurut kebanyakan orang. Tapi, begitulah yang aku lakukan setiap hari sepulang sekolah. Menunggu angkot yang akan menjemputku pulang ke rumah.

Dengarkanlah aku, Kawan!

Kawan, aku hanya memiliki dua bahu
bisa kau jadikan tempat bersandar
ketika kepalamu terasa penat
kutawarkan hati dan jiwa
menjadi telaga luapan emosi
tawa canda adalah hiasan peristiwa yang mewarnai
amarah, senang dan kecemburuan
akan selalu mengaduk-aduk kebingungan
ketika memaksa untuk beradaptasi pada dunia baru
rajutan benang kusut itu semakin kusut
saat ku coba untuk menguraikannya untukmu

TENTANG SAHABATKU 1

Surabaya, 22 Maret 2006

"Aku punya temaaaaaaaaaaaan......!"
Iitu Cuma syair lagu milik RATU kok. Yup, aku memiliki teman, atau bisa dibilang sahabat. Dia sangat ngertiin aku, masalahku, pribadiku dan bahkan, segala aktivitasku dia juga tahu. Meski usianya lebih muda 1 tahun dariku, kupikir dia udah cukup bijaksana dan dewasa dalam memberikan solusi-solusinya. Meskipun terkadang aku sendiri kurang sependapat dengannya, tapi aku tetap menghargainya yang mau mendengarkan segala keluhanku. Kehidupannya syarat dengan lingkungan Islami, segala kebiasaan hidupnya juga syarat dengan religi. Yaaa, dia seorang cewek. Dia punya paras cantik, tutur katanya manis, tapi suka ceroboh kayak aku. Kita berdua memiliki beberapa persamaan, karena itulah beberapa aktivitas yang kami lakukan bersama juga terasa asyik. Dimana ada dia, di situ ada aku di setiap kegiatan keislaman di kampung kami. Entahlah, aku begitu asyik ngobrol panjang lebar dengan dia, bahkan sering lupa waktu. Hingga tak jarang orang tuaku menegurku karena keteledoranku. Dia ibarat obat di saat aku sedang terluka parah.
Tapi........., ada sesuatu yang akan merenggutnya dari sisiku. Meskipun, dia bukanlah satu-satunya orang atau sahabat yang kumiliki, aku seperti akan kehilangan sebuah tongkat pegangan. Tiba-tiba air mataku meluapkan emosi kesedihanku karena kehilangan dirinya yang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahannya.

Oh, sepedaku (Cerita SMP)

“Teeet……teeet……………teeet!”. Bel tanda pulang sekolah telah berbunyi, sebentar saja ruang kelas menjadi gaduh dan ramai dengan teriakan murid-murid. Mereka meluapkan kegembiraan yang seolah-olah terlepas dari penjara yang mengekang. Ya, kepala ini telah penat dengan materi pelajaran sekolah. Udara terasa sangat panas. Jarum jam menunjukkan pukul 13.15. Murid-murid kelas lain tak kalah hebohnya untuk berebut keluar berhamburan dari ruang kelas yang sudah berjam-jam menahan mereka.
Selepas perginya para murid, tinggal aku dan Diah yang berada di dalam kelas sibuk merapikan perlengkapan peralatan kelas karena besok adalah tugas piket kami. Kami harus mengembalikan beberapa peralatan ke gudang dan kantor sekolah.

Berangkat menghadiri Farewell party SMA

Aku adalah salah satu siswi SMA Negeri 7 Kediri. Salah satu sekolah favorit di kotaku. begitulah menurut banyak orang. Aku adalah siswa yang tidak suka menonjolkan diri di sekolah. Takut sih. Bukan kenapa-napa. Teman SMA adalah teman-teman yang paling usil yang pernah kukenal. Apalagi aku siswa yang paling kecil (maksudnya postur tubuhku, ditambah lagi dengan wajahku yang baby face yang menurut mereka masih pantas duduk di Taman kanak-kanak) diantara teman sekelasku. Bisa-bisa aku menjadi korban bulan-bulanan kerjaan teman-teman. So, aku memilih menjadi orang pendiam (walaupun tidak pendiam amat, asal tetap wajar) yang tidak suka neko-neko. Penyelamatan dan perlindungan diri saja dari perbuatan usil mereka.
Akhir tahun ajaran 1999 aku telah mengakhiri masa SMAku. Karena masa jenjang sekolahku telah berakhir. Sudah pasti teman-teman mengadakan farewell party. Acaranya akan diadakan di rumah teman yang kebetulan dekat dengan rumahku. Teman-teman sudah tahu kalau aku tidak memiliki dan tidak bisa naik sepeda motor. Kemanapun aku pergi selalu mengendarai sepeda pancal atau naik angkot. Kebetulan rumah yang ditempati ini adalah rumah temanku sebangku, namanya Sari. Aku memang tidak pernah pergi agak jauh sendirian, pasti perginya bersama teman-teman yang lain. Itu pun dijemput temanku pula yang memiliki sepeda motor. Malam itu, dengan berbekal sebuah kado kecil berbungkus Koran, aku berangkat mengayuh sepeda pancalku. Agak takut juga berangkat seorang diri. Disamping belum tahu rumahnya, aku juga baru kali itu pergi sendirian. Aku nekat berangkat dan terus mencari rumahnya. Aku sudah muter-muter mengelilingi alun-alun kota hamper setengah jam lamanya. Tapi belum juga menemukan rumahnya. Akhirnya dengan putus asa aku berhenti di sebuah wartel dan kutelpon rumahnya.
“Halo, bisa bicara dengan Sari?”
“Ya, siapa ini?”
“Sar, ini aku. Udah kucari rumahmu muter-muter tapi belum ketemu juga. Aku gak jadi ikutan aja ya? Gak papa kan? Pasti udah banyak teman yang datang. Aku takut. Soale aku berangkat sendirian”. Kontan saja Sari langsung marah habis-habisan.
“Gimana sih kamu? Nggak bisa, Wah, ya nggak seru dong! Ini kan acara perpisahan kita. Yang benar aja kamu nggak ikutan. Pokoknya kamu harus datang. Teman-teman yang lain udah pada nunggu nih. Masak kamu nggak ikutan? Udah, kamu biar dijemput teman-teman aja deh. Rumahmu kan dekat. Kamu naek apa sih?”
“Hmm?”, aku jadi terdiam sesaat mendengar pertanyaan Sari yang mendesakku. “Se..pe..da…!?”, jawabku pelan dan ragu.
“Sepeda pancal, maksudmu?”, sudah kuduga dia bakal mengajukan pertanyaan seperti itu. Tapi kali ini dia jadi kaget.
“Ya, kenapa memang? Apakah teman-teman yang sudah datang tak ada yang naek sepeda pancal?” tanyaku dengan polos dan heran. Kupikir-pikir memang Iya sih. Mana ada yang naek sepeda pancal kayak aku? Gengsi dong!. Aku lupa kalau sekarang adalah teman SMA bukan lagi SMP. Dulu, teman-temanku SMP terbiasa dengan sepeda pancalnya.
“Ha ha ha ha……, ya iyalah. Aduuuuh, temanku. Kenapa kamu pake sepeda pancal? Teman-teman di sini nggak ada yang memarkirkan sepeda pancal di halaman rumahku. Mereka kan bisa boncengan dengan lain jika nggak memiliki sepeda motor. Ntar kamu malu sendiri markir sepeda di depan”, ih aku jadi keki sendiri dibuatnya. Iya ya? Tapi apa salahnya? Toh, yang kumiliki hanya sepeda pancal. Aku bukan anak orang kaya seperti mereka. Mungkin, kalo di sekolah, itu tak pernah menjadi pikiran. Tapi ketika ada acara semacam ini? Mmmm, rada susah juga tuh. Bisa dibilang aku orang kuper. Tapi toh, bukan permasalahan penting kan?
“Trus, pulangku nanti gimana? Masalahnya, aku takut dimarahi orang tuaku. Karena ntar pasti pulangnya udah larut kan?”, Aduh, tiba-tiba aku merasa bersalah dan bego sendiri mengajukan pertanyaan seperti itu. Dia pasti jengkel dengan pertanyaanku. Karena aku tahu, hal itu bukan masalah besar bagi mereka yang terbiasa keluar rumah. Tapi, ini penting bagiku, tentu aku nggak ingin di cap menjadi perempuan yang nggak bener oleh tetanggaku gara-gara pulang larut malam yang diantar seorang cowok. Apalagi lingkungan rumahku adalah kalangan orang-orang santri yang taat, patuh dan menjunjung tinggi terhadap norma-norma agama Islam.
Namun keberuntunganku berteman dengan Sari adalah, meskipun kami beda agama, dia sangat mengerti kondisi lingkungan tempat tinggalku. Dia tak pernah mempermasalahkan hal itu, sangat toleransi, bahkan ketika pas natalan, dia membawakan kue-kue untukku. Karena merasa bersalah, aku cepat memberikan penawaran kepadanya. Aku jadi merasa nggak enak. aku nggak ingin mengecewakannya
“Eh, tapi aku punya ide. Begini aja. Saat ini aku berada dekat dengan rumah sepupuku. Aku titipin sepedaku di sana. Trus, aku tunggu jemputan di sana. Ntar pulangnya juga di sana. Dia sih kayaknya nggak papa kok. Gimana?”. Semoga dia nggak marah atas penawaranku.
“Oke deh, ntar biar Arif yang jemput kamu. Oke!”, jawabnya dengan lega. Syukur deh. Kayaknya dia bisa mengerti aku. Kurang lebih sepuluh menit kemudian, kulihat Arif dengan sepeda motornya udah sampe di depan pintu rumah sepupuku. Dia udah siap untuk berangkat bersamaku ke rumah Sari

Bu Dora dan Kursiku (Cerita SMA)

Pagi itu, jam mata pelajaran Bahasa Inggris akan segera dimulai. Bu Dora sudah memasuki ruang kelas kami dan siap memberikan materinya. Mulanya semua berjalan lancar dan apa adanya Aku mengikuti dan mengerjakan tugas-tugas dengan serius. Keadaan ruang kelas juga tenang-tenang saja.
Tiba-tiba perhatian Bu Dora beralih kepadaku. Ah, ada apa ya? Kulihat ada kernyitan di dahinya ketika kedua mata itu tertuju kearahku. Aku jadi takut kalau-kalau ada yang salah denganku. Aku berusaha menenangkan diri saat langkahnya mulai mendekati mejaku. Dia mulai memeriksa hasil kerjaku.
“Udah selesai, Alfi?” sapanya dengan lembut sembari menghampiri dan melihat ke arah buku tugasku.
“Eh, mmmmm sedikit lagi. Bu” jawabku gugup. Aku menjadi semakin salah tingkah karena dia semakin memperhatikanku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ada sebuah senyum simpul terselip di bibirnya yang tipis. Sambil terus memperhatikanku, dia berkata lirih kepadaku. “Tadi aku kaget begitu melihatmu. Tiba-tiba kamu menjadi tinggi sekali. Ternyata kursimu yang paling tinggi di kelas ini. Belajar yang rajin ya!” Sesaat kemudian dia pergi meninggalkanku perlahan dan menuju ke meja yang lain. Ha! benarkah? Aku tak pernah menyadarinya. Aduh, aku jadi tersipu mendengar kata-katanya. Kulirik ke belakang dan kesamping, kalau-kalau temanku yang lain juga mendengarnya, pasti akan ngeledekku. Hem….tapi aku juga tersenyum kegelian mendengarnya. Bisa juga Bu Dora bercanda.

Rabu, 18 Maret 2009

Hembusan Cinta

suara detik jam dinding melaju mengantar waktu
sunyi kian merambah menuju malam yang semakin larut
senyum kecil tersungging di bibir
saat wajah elok berparas putih - seputih salju itu........ perlahan menyapa angan......
ada kerinduan yang menyelinap di dasar kalbu
ketika tutur ramah yang berhias senyum membahana
terhembus melebur di udara malam

meski sebuah senyum yang masih melukis kenangan
ia mampu mencabik rasa rindu hingga merintih
adakah takdir memberikan ijin........
untuk kita saling bersua........

ada kedamaian menggelora ketika nada kesabaran
terselip di bibir yang berbicara di dekat telingaku.....
akankah dia menjadi kenanganmu juga?

bilakah Dia memberikan takdir kita?
dapatkah memberikan benang merah diantara hati kita
mengikat dalam tali suci kebesaran-Nya

masihku terjaga dari alam lengang ini........
asyikku bermain menghadirkanmu dalam bayangan.......
"Selamat malam, wahai yang kusayang!"
Mungkin masih ada setumpuk tugas di sampingmu
pasanglah senyum paling manisss
masa depan ceria telah menunggumu.........

andainya ruang hatimu masih ada tempat untukku...
inginku rebahkan kasihku di dasar jiwamu.........
maafkanlah masa lalu.......
jika luka pernah menoreh karenaku........
cintaku masih terbawa nafas yang terhembus ke udara......
bawalah serta dalam mimpi tidurmu..........


haiiiiiii, puisi ini sengaja aku buat karena lagi fallin in love sejak dulu pada seseorang yang cuakepnya duuuuh. Abis, parasnya itu lho, putih bersih. hi hi hi.........sssst! Jangan bilang-bilang ya!