Senin, 30 Maret 2009

Oh, sepedaku (Cerita SMP)

“Teeet……teeet……………teeet!”. Bel tanda pulang sekolah telah berbunyi, sebentar saja ruang kelas menjadi gaduh dan ramai dengan teriakan murid-murid. Mereka meluapkan kegembiraan yang seolah-olah terlepas dari penjara yang mengekang. Ya, kepala ini telah penat dengan materi pelajaran sekolah. Udara terasa sangat panas. Jarum jam menunjukkan pukul 13.15. Murid-murid kelas lain tak kalah hebohnya untuk berebut keluar berhamburan dari ruang kelas yang sudah berjam-jam menahan mereka.
Selepas perginya para murid, tinggal aku dan Diah yang berada di dalam kelas sibuk merapikan perlengkapan peralatan kelas karena besok adalah tugas piket kami. Kami harus mengembalikan beberapa peralatan ke gudang dan kantor sekolah.

Diah, adalah teman sekelasku yang sangat tomboy. Bicaranya ceplas-ceplos, tawanya sangat keras, ngobrolnya selalu dengan teman-teman cowok. Tapi orangnya suka membantu. Selesai mengembalikan peralatan ke kantor sekolah, kami berdua mengambil sepeda bersama-sama di tempat parkir. Sekolah sudah agak sepi karena teman-teman telah pergi meninggalkan sekolah. Tinggal beberapa sepeda yang tertinggal di sana.
Kudapati sepedaku diantara yang lainnya. Tapi………? Sepertinya ada yang aneh dengan posisi dan kondisi sepedaku. Tidak seperti biasanya. Aku gelisah dan segera menghampirinya. Ada firasat buruk kurasakan. Benar saja, kenapa sepeda itu lebih pendek posisinya dari seharusnya? Eh, lho kok? Aku tambah panik lagi karena salah satu rodanya berada di samping sepeda. Itu menandakan salah satu rodanya telah lepas. (dilepas ataukah terlepas?) Bagaimana bisa? Aku semakin panik dibuatnya. Tak bosan-bosannya sepeda itu bikin ulah. Entah ulah temanku, entah bukan. Tapi yang jelas, sepeda itu selalu bikin masalah. Belum lama, ban sepeda itu bocor. Selesai masalah ban bocor, ganti pedalnya yang lepas, Sekarang apalagi ini? Haruskah aku menuntunnya sampai ke rumah? Sementara jarak antara sekolah dan rumahku lumayan jauh. Karena panik yang tak karuan, akhirnya kupanggil Diah yang masih sibuk mencari sepedanya.
“Diah! Tolongin aku dong! lihat nih sepedaku” teriakku dengan penuh panik.
“Ada apa? Kenapa kamu gelisah begitu?”
“lihat! Roda sepedaku terlepas nih. Tapi kok berada di samping sepeda ya?”
Bukannya membantu menyelesaikan masalah, malah tiba-tiba Diah tertawa ngakak keras sekali, hingga menggema ke dalam ruang kelas. Aku heran dibuatnya.
“Apa-apaan sih kamu? Orang minta tolong kok, malah ketawa. Apa maksud kamu?”
“Sorry sory...... Nggak. Gimana nggak ketawa. Wong, roda kok bisa lepas sendiri dan berdiri di samping sepeda. Aneh kan? Ha ha ha ……………”. Ia terus saja ketawa terpingkal-terpingkal.
“Sudahlah, nggak lucu tahu nggak. Sekarang, gimana nih? Masak aku mesti nuntun sampe ke rumah?” aku tambah sewot dengan ulah Diah yang semakin parah saja seperti orang kesurupan.
“Ha ha ha ha……., iya ya ya. Sini aku Bantu bawain rodanya ya! Kita bawa aja ke depan ruang gudang sana. Kita minta tolong ama pak Kebon untuk perbaiki sepeda kamu yang rontok ini. Ha ha ha ha………”
Dasar, tak tahu aturan. Masih saja ketawa ngakak kayak orang gila.
Sambil terus tertawa cekikikan, dia berjalan membawakan roda sepedaku dengan sesekali mengangkatnya agak tinggi. Sementara aku sendiri menuntun sepeda dengan setengah mengangkat karena roda depan yang lepas.
Sampailah kami di depan ruang gudang pak Kebon. Melihat kami membawa sesuatu, pak kebon menatap terheran-heran.
“Lho, ada apa nih? Kenapa dengan sepedanya?”
Pertanyaan itu langsung disambut dengan tawa Diah yang kembali ngakak mirip gempa bumi. Ah, aku jadi sebel melihat tingkah Diah. Aku tak bisa menahan rasa malu di depan pak Kebon dan Bapak Wakasek yang kebetulan berada di sana.
“Ini lho pak, rodanya terlepas dari sepedanya. Ha ha ha ha…..”.
Uh, lagi-lagi Diah bertingkah di depan Bapak wakasek. Sepeda itu memang sudah tua, dan sudah waktunya untuk dimuseumkan. Tapi itulah satu-satunya sepeda yang kumiliki, pemberian dari emakku. Hasil dari perjuangan emakku demi menyekolahkan anaknya.
“Ya sudah sini, saya perbaiki”
Aku hanya terdiam melihatnya. Sesekali aku marah sama Diah yang tak henti-hentinya tertawa ngakak.
“Udah dong. Udah dibilang nggak ada yang lucu kok. Kamu tu kenapa sih?”
Melihat kemarahanku, bukannya berhenti malah semakin dikeraskan volume tawanya. Akhirnya kubiarkan saja dia tertawa sepuasnya hingga selesai Pak Kebon memperbaiki sepedaku.
“Makasih ya Pak” ucapku pada pak Kebon.
“Lain kali, kalo mau berangkat sekolah, diperiksa dulu sepedanya. Terutama rodanya. Ya!”, Pak wakasek menasehatiku dengan wajah serius.
“Ya pak”Kami berdua pergi meninggalkan sekolah. Sementara Diah masih saja tertawa cekikikan sepanjang perjalanan menuju gerbang sekolah. Biar sakit perut sekalian ntar kalo udah sampe di rumahnya

Tidak ada komentar: