Senin, 30 Maret 2009

Berangkat menghadiri Farewell party SMA

Aku adalah salah satu siswi SMA Negeri 7 Kediri. Salah satu sekolah favorit di kotaku. begitulah menurut banyak orang. Aku adalah siswa yang tidak suka menonjolkan diri di sekolah. Takut sih. Bukan kenapa-napa. Teman SMA adalah teman-teman yang paling usil yang pernah kukenal. Apalagi aku siswa yang paling kecil (maksudnya postur tubuhku, ditambah lagi dengan wajahku yang baby face yang menurut mereka masih pantas duduk di Taman kanak-kanak) diantara teman sekelasku. Bisa-bisa aku menjadi korban bulan-bulanan kerjaan teman-teman. So, aku memilih menjadi orang pendiam (walaupun tidak pendiam amat, asal tetap wajar) yang tidak suka neko-neko. Penyelamatan dan perlindungan diri saja dari perbuatan usil mereka.
Akhir tahun ajaran 1999 aku telah mengakhiri masa SMAku. Karena masa jenjang sekolahku telah berakhir. Sudah pasti teman-teman mengadakan farewell party. Acaranya akan diadakan di rumah teman yang kebetulan dekat dengan rumahku. Teman-teman sudah tahu kalau aku tidak memiliki dan tidak bisa naik sepeda motor. Kemanapun aku pergi selalu mengendarai sepeda pancal atau naik angkot. Kebetulan rumah yang ditempati ini adalah rumah temanku sebangku, namanya Sari. Aku memang tidak pernah pergi agak jauh sendirian, pasti perginya bersama teman-teman yang lain. Itu pun dijemput temanku pula yang memiliki sepeda motor. Malam itu, dengan berbekal sebuah kado kecil berbungkus Koran, aku berangkat mengayuh sepeda pancalku. Agak takut juga berangkat seorang diri. Disamping belum tahu rumahnya, aku juga baru kali itu pergi sendirian. Aku nekat berangkat dan terus mencari rumahnya. Aku sudah muter-muter mengelilingi alun-alun kota hamper setengah jam lamanya. Tapi belum juga menemukan rumahnya. Akhirnya dengan putus asa aku berhenti di sebuah wartel dan kutelpon rumahnya.
“Halo, bisa bicara dengan Sari?”
“Ya, siapa ini?”
“Sar, ini aku. Udah kucari rumahmu muter-muter tapi belum ketemu juga. Aku gak jadi ikutan aja ya? Gak papa kan? Pasti udah banyak teman yang datang. Aku takut. Soale aku berangkat sendirian”. Kontan saja Sari langsung marah habis-habisan.
“Gimana sih kamu? Nggak bisa, Wah, ya nggak seru dong! Ini kan acara perpisahan kita. Yang benar aja kamu nggak ikutan. Pokoknya kamu harus datang. Teman-teman yang lain udah pada nunggu nih. Masak kamu nggak ikutan? Udah, kamu biar dijemput teman-teman aja deh. Rumahmu kan dekat. Kamu naek apa sih?”
“Hmm?”, aku jadi terdiam sesaat mendengar pertanyaan Sari yang mendesakku. “Se..pe..da…!?”, jawabku pelan dan ragu.
“Sepeda pancal, maksudmu?”, sudah kuduga dia bakal mengajukan pertanyaan seperti itu. Tapi kali ini dia jadi kaget.
“Ya, kenapa memang? Apakah teman-teman yang sudah datang tak ada yang naek sepeda pancal?” tanyaku dengan polos dan heran. Kupikir-pikir memang Iya sih. Mana ada yang naek sepeda pancal kayak aku? Gengsi dong!. Aku lupa kalau sekarang adalah teman SMA bukan lagi SMP. Dulu, teman-temanku SMP terbiasa dengan sepeda pancalnya.
“Ha ha ha ha……, ya iyalah. Aduuuuh, temanku. Kenapa kamu pake sepeda pancal? Teman-teman di sini nggak ada yang memarkirkan sepeda pancal di halaman rumahku. Mereka kan bisa boncengan dengan lain jika nggak memiliki sepeda motor. Ntar kamu malu sendiri markir sepeda di depan”, ih aku jadi keki sendiri dibuatnya. Iya ya? Tapi apa salahnya? Toh, yang kumiliki hanya sepeda pancal. Aku bukan anak orang kaya seperti mereka. Mungkin, kalo di sekolah, itu tak pernah menjadi pikiran. Tapi ketika ada acara semacam ini? Mmmm, rada susah juga tuh. Bisa dibilang aku orang kuper. Tapi toh, bukan permasalahan penting kan?
“Trus, pulangku nanti gimana? Masalahnya, aku takut dimarahi orang tuaku. Karena ntar pasti pulangnya udah larut kan?”, Aduh, tiba-tiba aku merasa bersalah dan bego sendiri mengajukan pertanyaan seperti itu. Dia pasti jengkel dengan pertanyaanku. Karena aku tahu, hal itu bukan masalah besar bagi mereka yang terbiasa keluar rumah. Tapi, ini penting bagiku, tentu aku nggak ingin di cap menjadi perempuan yang nggak bener oleh tetanggaku gara-gara pulang larut malam yang diantar seorang cowok. Apalagi lingkungan rumahku adalah kalangan orang-orang santri yang taat, patuh dan menjunjung tinggi terhadap norma-norma agama Islam.
Namun keberuntunganku berteman dengan Sari adalah, meskipun kami beda agama, dia sangat mengerti kondisi lingkungan tempat tinggalku. Dia tak pernah mempermasalahkan hal itu, sangat toleransi, bahkan ketika pas natalan, dia membawakan kue-kue untukku. Karena merasa bersalah, aku cepat memberikan penawaran kepadanya. Aku jadi merasa nggak enak. aku nggak ingin mengecewakannya
“Eh, tapi aku punya ide. Begini aja. Saat ini aku berada dekat dengan rumah sepupuku. Aku titipin sepedaku di sana. Trus, aku tunggu jemputan di sana. Ntar pulangnya juga di sana. Dia sih kayaknya nggak papa kok. Gimana?”. Semoga dia nggak marah atas penawaranku.
“Oke deh, ntar biar Arif yang jemput kamu. Oke!”, jawabnya dengan lega. Syukur deh. Kayaknya dia bisa mengerti aku. Kurang lebih sepuluh menit kemudian, kulihat Arif dengan sepeda motornya udah sampe di depan pintu rumah sepupuku. Dia udah siap untuk berangkat bersamaku ke rumah Sari

Tidak ada komentar: